top of page
Writer's pictureIsmi Fadillah

‘SPOTLIGHT’ TUNJUKKAN KEKUATAN JURNALISME YANG SESUNGGUHNYA

Film Spotlight mencuri perhatian sejak meraih 6 nominasi di perhelatan penghargaan tinggi industri film dunia, Academy Awards ke-88, pada kategori Best Picture, Best Director, Best Supporting Actor, Best Supporting Actress, Best Original Screenplay, dan Best Film Editing. Dari 6 nominasi tersebut, film bergenre thriller drama ini berhasil meraih 2 piala Oscar pada kategori Best Picture dan Best Original Screenplay. Selain Academy Awards, film yang dibintangi oleh Rachel McAdams dan Mark Ruffalo ini juga meraih penghargaan di ajang penghargaan bergengsi lainnya seperti Golden Globes dan BAFTA. Film yang diangkat dari kisah nyata ini memang patut menuai pujian sebab sutradara Tom McCarthy terlihat sangat detail dan hati-hati dalam penggarapannya.

Spotlight menceritakan perjuangan para Jurnalis koran lokal The Boston Globes dalam menguak kasus paling sensitif dan menggemparkan dunia yang melibatkan para pastor di keuskupan Boston. Kisah berawal dari kedatangan kepala redaksi baru di The Boston Globes, Marty Baron. Dalam rapat redaksi, Marty mengusulkan untuk mengungkap kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh Pastor yang pernah bertugas di Boston, bernama Geoghan. Kasus tersebut sebelumnya pernah ditulis oleh salah satu jurnalis The Boston Globes namun kasus tersebut berhenti tanpa kejelasan. Dari artikel yang pernah ditulis, diketahui bahwa Pastor Geoghan telah mencabuli anak-anak di bawah umur selama lebih dari 30 tahun di enam tempat berbeda dan Keuskupan Boston tahu akan hal itu.

Spotlight adalah sebutan untuk tim investigasi di The Boston Globes, yang terdiri dari Robby Robinson, Mike Rezendes, Sacha Pfeiffer, dan Matt Carrol. Tim Spotlight biasanya mengulas sebuah kasus secara mendalam dengan metode investigatif jurnalistik. Bagi tim Spotlight, kasus ini bukan kasus yang mudah dan sembarangan apalagi diketahui pihak keuskupan Boston menutupi kasus ini dari publik bekerjasama dengan kejaksaan setempat.  Layaknya detektif, tim Spotlight melakukan investigasi dengan menghubungi pengacara yang pernah menangani kasus Geoghan, mewawancarai para korban, dan membuka kembali artikel-artikel lama di beberapa koran tentang kasus pencabulan tersebut. Setelah melakukan beberapa negosiasi alot kepada pihak-pihak terkait di keuskupan dan kejaksaan, akhirnya tim Spotlight berhasil menguak kasus ini dan menuntut pihak keuskupan membuka kasus ini ke publik.

Artikel perdana tentang kasus pelecehan seksual oleh pastor ini diterbitkan The Boston Globes pada 6 Januari 2002 dengan judul “Church Allowed Abuse by Priest for Years”. Setelah itu, ratusan telepon dari korban-korban lainnya pun masuk ke kantor berita tersebut. Sepanjang 2002, tim Spotlight mempublikasikan hampir 600 kisah tentang skandal ini. Tercatat 249 pastor dan biarawan didakwa di depan umum atas pelecehan seksual di keuskupan Boston. Jumlah korban selamat di Boston diperkirakan lebih dari 1000 orang. Kemudian, skandal serupa juga terungkap di 133 kota di seluruh dunia.

Pengungkapan Kasus Besar dalam Keheningan

Sutradara Tom McCarthy sangat pandai membuat penonton menahan napas saat menonton Spotlight. Jika saat menonton drama penonton dengan mudah dibuat menangis tersedu-sedu, film ini justru membuat air mata penonton mengembang, tak sampai menetes karena tekanan emosi yang dimunculkan di tiap adegannya begitu kuat namun dalam keheningan. Film ini tidak mendramatisir cerita, tapi mampu menyampaikan pesan mendalam. Karakter para wartawan tidak dibuat congkak serta merasa hebat dalam menangani kasus besar yang menodai institusi Gereja Katolik di seluruh dunia. Tak ada ekspresi kemenangan dari tim Spotlight yang berhasil mengungkap kasus tersebut tetapi rasa prihatin yang mendalam karena aib yang dilakukan para pastor “cabul” menggoyahkan keimanan dan melukai hati tak hanya umat Katolik tapi seluruh umat manusia di dunia.

Peran dan Kekuatan Media Massa sebagai Pelayan Publik

Berkat pengungkapan kasus pelecehan ini, pada tahun 2003, The Boston Globes mendapatkan Pulitzer Awards untuk kategori pelayanan publik. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan paling prestisius dalam dunia jurnalisme. Bayangkan jika seluruh institusi-institusi vital serta para penegak hukum di suatu kota sudah bekerjasama menutupi kasus besar yang membahayakan warganya, siapa lagi yang harus bertindak kalau bukan media massa. Media memiliki power yang sangat besar dalam menegakkan kebenaran demi kemaslahatan masyarakat. Peran media sebagai pelayan publik tentunya harus mengutamakan kepentingan publik dan mengesampingkan kepentingan kelompok tertentu. Dalam film Spotlight, Kepala Redaksi The Boston Globes, Marty Baron sempat menemui petinggi Gereja Boston. Pihak gereja sempat bernegosiasi dengan Marty dan memintanya untuk saling bekerja sama dan senantiasa berjalan beriringan dengan institusi Gereja. Dengan lugas, Marty menolak ajakan tersebut dan mengatakan bahwa media akan berjalan dengan baik apabila berdiri secara independen.

Bagaimana dengan media massa di Indonesia? Seperti kita ketahui bahwa beberapa stasiun televisi nasional dimiliki oleh petinggi-petinggi partai besar di Indonesia. Sebut saja Viva Group (ANTV, TV ONE, viva(dot)co(dot)id) dimiliki oleh pengusaha sekaligus petinggi partai Golkar Aburizal Bakrie. Metro TV dimiliki oleh pendiri partai Nasional Demokrat (NASDEM), Surya Paloh, kemudian MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV, I-News TV, Koran Sindo, okezone(dot)com) dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo pendiri partai Perindo. Beberapa koran nasional juga terlihat pemberitaannya condong memihak kelompok tertentu. Di Indonesia, semakin banyak media bermunculan justru semakin sulit ditemui media yang berdiri secara independen dan benar-benar melakukan perannya sebagai pelayan publik serta mendahulukan kepentingan masyarakat.

0 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page