Apa kabar sobat film!
Saya sadar untuk bahas Dilan udah lumayan basi ya, hehehe. Tapi memang saya baru ada waktu dan ingin sekali mengaktifkan kembali blog ini. Baiklah, nggak usah berlama-lama, saya langsung share pendapat saya tentang film remaja paling hits di 2018 ini ya. Selamat membaca 🙂
Beberapa tahun sebelum film ini gempar, saya lumayan sering melihat remaja khususnya anak SMA di transportasi umum -entah itu KRL atau transjakarta- membawa novel Dilan 1990. Dari sanalah saya mengenal Dilan dan ketika tahu film ini akan difilmkan saya tidak begitu kaget karena tahu kalau novel ini sudah populer lebih dulu. Saya cukup mengikuti perkembangan produksi film ini dan mengetahui bahwa beberapa orang tak rela Dilan diperankan oleh Iqbal yang notabene dikenal sebagai anggota boyband Coboy Junior. Mereka yang tak setuju memiliki berbagai alasan. Saya tidak bisa ikut menilai karena saya sendiri tidak membaca novelnya.
Saat film ini tayang, animo masyarakat sangat luar biasa dan banyak respon positif terhadap film ini. Yang saya tahu, mereka bilang film ini romantis banget, bikin pengen pacaran, dan lain-lain. Saya sebenarnya tidak begitu berminat untuk nonton tapi karena dorongan seorang kawan, akhirnya saya nemenin temen saya nonton dan mencoba menikmati film ini.
Reaksi kami berdua saat nonton adalah jenuh, bosan, malas dengar gombalan, menyesal, dan tidak ingin menonton kelanjutannya, Dilan 1991.
Bagi saya film ini tak ada bedanya dengan FTV yang tak perlu bayar buat nonton. Bahkan bisa dibilang lebih baik FTV karena masih ada konflik dan alur cerita yang jelas walaupun mengada-ngada. Tapi di Dilan 1990, saya berasa cuma liatin cewek cantik dikejar-kejar cowok pake gombalan trus jadian, udah selesai. Sangat minim konflik, tak ada efek kejut, paling ya rasa-rasa garing campur krik-krik-krik denger gombalan-gombalannya Dilan.
Saya bicara Dilan 1990 dari segi film. Informasi dari kawan saya yang membaca novelnya, karkater Dilan sangat kuat, nakal, anak geng motor, tapi pintar dan setia kawan serta membela keadilan. Dalam film, karakter tersebut tidak tampak karena 80% isinya cheesy banget yang cuma nampilin gimana cara Dilan dapetin Milea -cewek pindahan cakep di sekolah yang juga banyak fans-nya- dengan gombalannya. Scene Dilan sebagai anak geng motor juga gak seberapa. Dan yang jadi pertanyaan saya, kenapa harus Milea? yang saya tangkep di film itu Milea nggak punya karakter. satu-satunya kelebihan dia hanya cantik. Memang sih, siapa yang nggak mau sama cewek cantik. Tapi cewek cantik kan bukan Milea doang? Ada Angel, Rani, atau Vina atau siapa ajalah… Trus apa kelebihan Milea? Setahu saya cowok cerdas itu nggak tertarik saya cewek yang cuma cantik doang apalagi kalau bodoh, cantiknya mah langsung luntur.
Saya yakin banget kalo film ini porsinya pas, antara karakter Dilan yang mendalam, buah pikirannya, konfliknya, perdalam karakter Milea yang bukan cuma cantik, film ini akan bisa sejajar dengan AADC. Selain itu, menurut saya nuansa 90-annya juga kurang dapet. Rambut Milea kurang megar, trus saya juga liat dia pake sepatu yang ngetren di tahun-tahun sekarang.
Satu-satunya yang saya nikmati di film ini ternyata di luar ekspektasi, yaitu akting dari Iqbal Ramadhan yang lumayan apik. Nggak nyangka malah saya baru sadar kalo anak ini bisa akting karena Iqbal berhasil menyatu dengan tokoh Dilan.
Sekian review dari saya, semoga film Indonesia lainnya nggak bikin saya kapok buat nonton, hehehe.
Comments