FFI (Festival Film Indonesia) adalah ajang penghargaan tertinggi bagi insan perfilman di Indonesia. Dikutip dari Antara News, wartawan senior Ilham Bintang merangkum kisruh FFI yang terjadi sejak pertama kali didirikan tahun 1955. FFI diprakarsai oleh PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia). Tujuannya untuk menjadi tolok ukur peningkatan kualitas dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap film Nasional.
FFI pertama dibiayai dengan uang pribadi Djamaluddin Malik, Pendiri dan Ketua PPFI. Tahun itu juga keriuhan langsung mewarnai keputusan Dewan Juri FFI yang memenangkan film “Tarmina” karya sutradara Lilik Sudjio, mengalahkan “Lewat Jam Malam” karya Usmar Ismail yang diunggulkan para kritikus film.
Kontroversi hasil putusan juri terulang pada FFI 1960. Film “Pejoang” karya Usmar Ismail kembali kalah. Yang terpilih sebagai Film Terbaik adalah “Turang” karya sutradara Bachtiar Siagian.
Merasa kecewa dengan dua kali hasil FFI, Usmar Ismail tidak lagi berminat menyertakan filmnya pada kegiatan FFI. Kegiatan itu pun terhenti hingga berakhirnya kekuasaan Presiden pertama RI, Bung Karno.
Setelah Orde Baru berkuasa, kegiatan penilaian film Indonesia kembali diselenggarakan pada 1967. Tapi, tidak menggunakan label FFI, melainkan nama baru, Pekan Apresiasi Film Nasional. Saat itu tidak ada yang terpilih sebagai Film Terbaik. Namun, Misbach Jusa Biran yang menyutradarai “Di Bawah Cahaya Gemerlapan” terpilih sebagai Sutradara Terbaik.
Baru pada 1973 kegiatan FFI kembali dihidupkan. Penyelenggaraannya dilaksanakan secara bergantian di kota kunci pemasaran film di Indonesia: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar, Semarang, dan Yogyakarta. Dimulai kegiatan itu seakan dimulainya pula kembali tradisi kericuhan dalam setiap kali penyelenggarannya. Inilah beberapa kejadian menonjol.
Pada FFI 1977 di Jakarta, masyarakat film diguncang oleh keputusan juri yang tidak menetapkan film terbaik tahun itu. Suasana di dalam gedung bioskop Djakarta Theater, tempat penganugerahan (awarding), seperti mau pecah akibat pengumuman tersebut.
Diawali dengan kejadian ketua dewan juri, D. Djayakusumah, yang jatuh pingsan saat membacakan putusannya. Pembacaan putusan dilanjutkan oleh Rosihan Anwar. Bukan putusan juri itu semata yang membuat hampir semua orang film mengamuk. Tetapi, terutama karena konsiderans juri yang dibacakan Rosihan menuding umumnya produser film Indonesia adalah pedagang mimpi alias the dream merchant.
Padahal waktu dua film diunggulkan akan bersaing keras meraih Piala Citra Film Terbaik, yaitu film “Si Doel Anak Modern” yang disutradarai Syumandjaya dan “Sesuatu Yang Indah” garapan Wim Umboh. Syumandjaya dan Wim Umboh, keduanya sineas ternama dan penting Indonesia.
Berhari-hari bahkan sampai berminggu minggu hasil putusan juri itu menjadi bahan perbincangan di media pers yang membuat luka hati kalangan film. Pokok masalahnya, kriteria pemilihan yang diatur dalam Pedoman FFI waktu itu. Film terbaik harus memperoleh sejumlah Piala Citra dari unsur-unsurnya. “Unsur-unsur film yang menonjol tersebar di berbagai film. Tidak ada film yang memiliki banyak unsur yang menonjol,” kenang DR Salim Said, salah seorang juri FFI 1977.
Dari peristiwa itulah lahir ketentuan yang mengoreksi kriteria film terbaik. Juga aturan yang melarang juri membacakan konsiderans secara lengkap di depan publik. Juri hanya diperkenankan menyampaikan merit atau kelebihan film yang dipilih sebagai pemenang. Adapun hal lainnya dianggap sebagai rahasia penjurian harus disimpan rapat-rapat. Baru dapat dibuka untuk bahan diskusi dan penelitian tiga tahun setelah itu. Namun, dalam praktiknya, rahasia penjurian dari masa ke masa belum pernah dibuka hingga sekarang.
Pada FFI 1980 di Semarang putusan juri menominasikan film dan beberapa unsur film “Yuyun, Pasien Rumah Sakit Jiwa” produksi Pusat Film Negara (PFN) dengan sutradara Arifin C. Noer diprotes keras oleh rombongan wartawan film dari Jakarta.
Wartawan menyampaikan mosi tidak percaya pada putusan juri atas dasar pelanggaran yang dilakukan panitia FFI memasukkan film itu dalam kategori film cerita panjang. Secara materil “Yuyun” memang film cerita panjang, namun izin produksinya menggunakan izin film dokumenter.
Di masa itu pembuatan film cerita panjang harus memperoleh rekomendasi dari pancatunggal perfilman. Yaitu, lima organisasi perfilman: PPFI, Karyawan Film dan Televisi (KFT), Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), dan Gabungan Studio Film Indonesia (Gasfi).
“Yuyun” yang merupakan produksi PFN tampaknya tak mengindahkan aturan tersebut. Geger “Yuyun” mengundang reaksi Menteri Penerangan (Menpen) saat itu, Ali Murtopo. “FFI bukan festival aturan,” tegasnya. Namun, tokoh film Nasional, Asrul Sani, menyatakan bahwa meskipun bukan festival aturan, namun festival di mana pun memiliki aturan. Seyogyanya semua pihak menghormati aturan yang ada. Lebih-lebih pembuatnya.
Film Yuyun memang tidak terpilih sebagai film terbaik FFI 1989. Film Terbaik adalah “Perempuan Dalam Pasungan” karya sutdarada Ismail Soebardjo. Tetapi, selang beberapa bulan setelah itu, seorang wartawan film membongkar fakta bahwa film tersebut adalah film jiplakan dari film Mandarin berjudul “Perempuan Muda, 18 Tahun Dalam Kurungan”. Pecahlah kembali heboh mengenai hasil FFI 1980 itu.
Heboh FFI 1984 di Yogyakarta lain lagi. Tidak ada Film Terbaik yang ditetapkan Dewan Juri waktu itu. Harmoko sebagai Menpen pun kecele ketika naik ke panggung untuk membacakan surat putusan juri mengenai film terbaik yang ternyata kosong. Yang dipersoalkan kalangan film, sebab ketika pengumuman nominasi, Dewan Juri menetapkan beberapa judul film sebagai calon terbaik. Logikanya, mestinya ada satu yang terbaik dari yang diunggulkan.
Seperti biasa, keputusan juri tidak bisa diganggu gugat. Namun, kasus itu melahirkan ketentuan baru. Isinya, Juri wajib memilih satu yang terbaik jika menetapkan unggulan. Kalau tidak ada film dan unsur yang memenuhi syarat itu, maka juri tidak boleh mengunggulkan atau menominasikan film atau unsur tertentu.
Tidak selalu masalah penjurian yang memicu heboh dalam penyelenggaran FFI. FFI 1982 yang dilangsungkan di Balai Sidang Senayan Jakarta nyaris ditutup Menpen Ali Murtopo malam itu juga. Itu gara-gara panitia menyuguhkan tarian erotis di panggung pada acara pembukaan.
Ali Murtopo yang mengundang Wakil Presiden RI, Umar Wirahadikusumah, merasa dipermalukan oleh pertunjukan itu. “Kalau saja di tengah pertunjukan itu Pak Umar meninggalkan acara, maka malam itu juga FFI saya tutup,” kata Ali Moertopo keesokan harinya.
Heboh di luar konteks penjurian juga mewarnai FFI 1976 di Bandung (Jawa Barat); FFI 1983 di Medan (Sumatera Utara); dan FFI 2007 di Pekanbaru (Riau). Yang ini terkait kasus dugaan penyalahgunaan anggaran pemerintah daerah alias korupsi oleh panitia. Heboh korupsi di FFI 1976 di Bandung mencuat secara Nasional karena digelindingkan oleh aktor terkenal Dicky Zulkarnaen, meskipun kasus itu sendiri tidak pernah terbukti kebenarannya secara hukum.
Di era reformasi geger FFI terbesar dan kolosal terkait hasil penjurian terjadi pada FFI 2006 yang diwarnai protes sejumlah sineas, lantaran dewan juri memenangkan film ‘Ekskul’ yang dinilai telah melanggar aturan hak cipta, dengan menggunakan ilustrasi musik dari film Hollywood dan mengandung unsur plagiat.
Bentuk protes dan kekecewaan sejumlah sineas tanah air, ditunjukkan dengan pengembalian piala citra kepada panitia, dan mengancam tidak akan mengikutsertakan film karya mereka dalam FFI selanjutnya.
tahun 2007, melalui BP2N yang dikepalai Deddy Mizwar, akhirnya film ‘Ekskul’ dicabut sebagai sebagai peraih piala citra
Di tahun 2008, dewan juri FFI kembali membuat keputusan kontroversial. Sejumlah kritikus film menyayangkan tidak masuknya sejumlah film seperti ‘Ayat-Ayat Cinta’, ‘The Tarix Jabrix’, ‘Mengaku Rasul’, ‘Kunfayakunn’ dan ‘Doa yang Mengancam’ dalam katagori film terbaik. DI tahun itu pula, film ‘Laskar Pelangi’ yang fenomenal tidak ikut mendaftar. Menurut Dedi Mizwar saat itu, film dalam katagori Box Office belum tentu berkualitas.
Carut marut penyelenggaraan FFI, akhirnya membuat pemerintah membentuk Komite Festival Film Indonesia, untuk menyelenggarakan FFI tahun 2009, yang diketuai Ninik L Karim.
Tahun 2010, dewan juri tidak memasukkan film ‘Darah Garuda’ dan Sang Pencerah sebagai nominasi. Hal tersebut tentu saja menuai kontroversi, lantaran film tersebut selain menjadi film yang laris, juga memiliki kualitas. Ninik L Karim beralasan, film ‘Darah Garuda’ tidak lolos dalam kualifikasi lantaran dibesut oleh sutradara asing, sementara peraturan di FFI, film yang berhak masuk nominasi adalah film yang disutradari oleh sutradara berkewarganegaraan Indonesia. Sementara film Sang Pencerah, tidak masuk nominasi lantaran tidak banyak mengungkapkan fakta sejarah.
Ilham Bintang mengatakan kekisruhan di setiap penyelenggaraan FFI harus menjadi kerisauan kita bersama, supaya kita bisa melahirkan satu tekad kuat memperbaiki FFI di masa datang.
Melihat hal tersebut ABF merasa prihatin karena seharusnya FFI menjadi perayaan dan penghargaan yang dapat memberi semangat dan nafas bagi perfilman Indonesia, bukannya membuat para sineas kecewa dan mempermalukan dunia perfilman Indonesia. Tentunya harapan kita perfilman Indonesia dan penyelenggaraan FFI bisa selaras dan saling mendukung untuk menciptakan industri perfilman yang jauh lebih baik. Sumber: antara news dan berita satu
Comments